Indonesia Art News Agency


Tranposisi : Membuka Tabir Rahasia Para Kolektor Seni
Mei 18, 2007, 8:39 am
Filed under: visual arts

img_8587.jpg

Oleh : Frino Bariarcianur

Foto koleksi Jogya Gallery

Biasanya yang berpameran adalah seniman. Tetapi kali ini Jogya Gallery agak berbeda. Pihak galeri meminta sejumlah kolektor lukisan di wilayah Jawa Tengah dan Jogyakarta untuk menampilkan koleksi-koleksi lukisan. Ada sekitar 14 kolektor yang berpartisipasi pada pameran lukisan bertajuk “Transposisi”. Siapa saja mereka?

Kolektor-kolektor itu antara lain : Alexa  nder Ming, Butet Kertaredjasa, Bambang Soekmonohadi, Dedi Irianto, Deddy PAW, Harsono, Hasan Berlian/Siswanto HS, Nasirun, dr.Oei Hong Djien, Oki Widiyanto, Rahadi Saptata Abra, Simon Tan, Sugiharto Soeleman, dan Soekeno.

Pada pameran ini kata ‘Transposisi’ diartikan sebagai perpindahan posisi; proses atau perubahan fungsi, kategori tanpa perubahan bentuk. Misalnya dari tangan seniman ke tangan kolektor.

Dengan keterlibatan para kolektor dalam pameran ini dimaksudkan untuk mengetahui kenapa para kolektor ingin mengkoleksi sebuah karya seni.  Dengan kata lain ingin membuka tabir rahasia selera para kolektor. Termasuk mekanisme dan konsep kolektor ketika ingin mengkoleksi sebuah karya seni.

Pameran ini sendiri juga merupakan usaha Jogja Gallery untuk memberikan apresiasi kepada para kolektor, betapa kiprah mereka telah memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan peradaban seni rupa Indonesia. Sekaligus juga memberikan kesempatan kepada masyarakat umum, untuk memasuki ‘alam’ dunia koleksi, sehingga diharapkan dapat memberikan dorongan terhadap pertumbuhan masyarakat kolektor.

Jogya Gallery sedang memberi penghormatan kepada para kolektor yang selama ini telah memberi sumbangsih pada perkembangan dunia seni rupa di Indonesia.

Di dalam pernyataan tertulisnya Minke Susanto, kurator pameran, menyebutkan, pameran ini meskipun lingkupnya hanya berasal dari dua wilayah [Jateng dan Jogyakarta], “Setidaknya akan menggambarkan berbagai transposisi karya seni, selera dan dominasi wacana dari satu ruang ke ruang lain, dari satu person ke person lain dalam wilayah tersebut.”

img_8673.jpgimg_8594.jpgLukisan karya Van Gogh pun akan dipamerkan pada pameran ini. Selain maestro dunia itu ada juga seniman kawakan Indonesia diantaranya Affandi, S. Soedjojono,  Bagong Kussudiardja juga Semsar Siahaan. Tak ketinggalan seniman muda Indonesia yang lagi “naik daun”  seperti Handiwirman Saputra.

Dan masih banyak lagi seniman-seniman kawakan yang telah menjadi koleksi para kolektor ikut berpartisipasi sebut saja Agus Kamal, Anthony, Anton Huang, Amri Yahya, Bambang Darto, Budi Ubrux, Erica Hestu Wahyuni, Fadjar Sidik, Gusti Alit Cakra, Gusmen Hariadi, Hardi, Hendra Gunawan, Ivan Sagita, Liu Guoqiang, Lucia Hartini, Nashar, Pupuk Daru Purnomo, Soedibio, Sugiyo Dwiharjo, Suatmadji,  Suharmanto, Tulus Warsito, dan Otto Djaja

Pameran “Tranporsisi” akan digelar di Jogya Gallery, Jalan Pekapalan No.7, Yogyakarta, mulai tanggal 22 Mei – 26 Juni 2007.  Acara ini akan dibuka oleh Ibu Endang Sedyadi, Pimpinan Kantor BI Yogyakarta pada hari Selasa, 26 Mei 2007, pukul 19.30 WIB.  Sementara dr. Oei Hong Djien, salah satu kolektor terbesar di Indonesia bertindak sebagai penasehat pameran, man behind the gun.[]


38 Komentar so far
Tinggalkan komentar

apa lacur, semuanya hanya kemasan yang tidak pernah menyentuh saya sebagai atom dari publik apresiator seni, seolah seni rupa indonesia hanyalah milik mereka yang bisa menggambar, menulis kurasi, ataupun mereka yang mampu membeli karya tersebut, dan mereka yang menikmati tanpa ada rejeki untuk mengoleksi hanya bisa menguap di telan bau sangit minyak linolit

Komentar oleh tukang sayur

Tukang sayur, nggak salah anggapan Anda. Medan sosial seni rupa Indonesia memang milik segelintir orang. Hanya saja aku dan beberapa teman ingin membantah itu, dengan turut terlibat,baik diundang atau pun tidak, untuk “terjebak” dalam dunia seni rupa Indonesia. Juga seni-seni yang lain.

Biar seni rupa Indonesia gak itu-itu aja orangnya, gimana kalau Bung juga turut memberi info tentang kegiatan seni rupa, atau menulis tentang profil seorang seniman di lingkungan Bung. Catatan: data dan fakta harus benar-benar valid.

salam hangat
redaksi

Komentar oleh beritaseni

Dunia seni rupa memang elit, lha kok baru nyadar?
….seelit dunia politik, seelit dunia selebritis. seelit dunia sastra, seelit dunia sains, seelit dunia kampus, seelit dunia agama, seelit dunia militer, seelit dunia wayang, seelit dunia jurnalistik, seelit dunia para ekonom, seelit dunia kuliner, seelit dunia belanja, seelit dunia DJ, seelit dunia dangdut, seelit dunia punk, seelit dunia anak jalanan, seelit dunia angkot, seelit dunia importir sayur, seelit internet ini..

Kita gak pernah protes betapa banyak dunia elit disekitar kita, betapa banyak dunia elit yang sulit kita sentuh…biarkan saja..Nah, kalau ingin masuk ke dalam dunia elit itu, mulailah belajar berbicara dengan bahasa mereka, bergaullah dengan cara mereka, pahamilah pengetahuan mereka…Tanpa itu, jangan harap kita bisa memahami dunia mereka…

Komentar oleh aminudin th.siregar

wah cok ente ternyat gak mampu memandang seni dari cipta rasa karsa yang bersahaja, …… ……. ….. ….. …. …..[maaf enam kata telah diedit oleh redaksi beritaseni],

Komentar oleh tukang sayur

Lucu dan sedikit skeptis,( sorry BANYAK skeptisnya ) klo media ini bisa menjadi jembatan, entah itu antar pelaku seni, kurator, kolektor +dol, maupun orang awam seperti saya ini, sebab hal ini bukan baru kali ini di lakukan, katakanleh embrio public space ( kebetulan ahir – ahir ni lagi populer / KEreeen yang di tambahin jualan kopi ) hanya menjadi kendaraan untuk sekedar menghegemoni rel kesenian tanah ini, biasanya media semacam ini ( contoh tabloid MAKNA jogja)dan semoga tidak di biasakan, cuma sekedar proyek kurator sok tau macam ucok, sorry ini fakta di mana ente lebih banyak menegok ke awan cok, di banding tanah sendiri, buat ucok : gaul dong ke karang taruna, liat bagaimana sebuah kesenian walau sederhana dan tanpa tetek bengek estetik, semiotik semantik dan segala tik..tik yang di buat kurator itu terbukti cuma omong kosong, jualan congor).
Akar permasalahan kesenian di tanah ini, yang d mulai dari high art, low art, sampai moncrot art di dominasi oleh kurator – kurator ngehe yang tidak mampu melihat rasa dan karsa dalam ranah budaya kesahajaan, coba liat FKY, dari mana si kus bisa menempatkan pararameter seleksi terhadap karya- karya yang dia sendiri bilang masih baru, titik tolak kus ga da kus…!!! klo seni experimental gw sepakat, tapi dalam hal ini ada sisitem seleksi, di mana sebuah karya akan di nilai layak atau tidak untuk di perlihatkan ke publik dalam kemasan FKY yang juga serta merta akan mendorong nama dan harga ….( pikir sendiri )……….ke atas, apa parameternya ?? lagian ngapain sih lo kasih liat foto – foto contoh karya dari luar negri, ? kurang di sini tingkat evolusinya
Sebenarnya semua ini bila sampai pada tahap kesepahaman dan apa namanya ? kontemplasi ya.. terserahlah gw terusin ja, jadi semua ini akan jadi titik lebur yang baik bila para kurator tidak menjadikan, ataupun menggiring kesenian menjadi sesuatu yang hal elitisme ( macam pasukan mawar ja )..da sisi yang selama ini di lupakan atau terlupakan dari kurator Indonesia……
bagaimana media BERITA SENI mampu berlaku seimbang saya akan tunggu nanti, ….. ….. ….. …… …….. [maaf 5 kata telah diedit oleh redaksi beritaseni]
main- main ke pasar impres fren ( di baca pren ) banyak sayur di sana

Komentar oleh tukang sayur

Yth, Seseorang yang bernama samaran Tukang Sayur [odienk_zeppelin@yahoo.com]

Kami berharap Bung tetap baik-baik dan sehat. Mohon maaf, kami harus menghapus beberapa kata [hanya beberapa kata!] yang dianggap “tak penting” demi kelancaran diskusi ini. Kami sendiri tetap menyimpan file asli Bung Tukang Sayur.

Terima kasih atas kritik Bung kepada Kantor Beritaseni Indonesia. Skeptis itu penting juga, kami tak ada masalah dengan sikap tersebut. Saran kami, ada baiknya Bung membaca kembali FAQ yang telah kami buat.

Untuk orang-orang yang Bung kritik, semoga mereka mau menjelaskan duduk perkaranya.

Satu hal lagi, saran kami ada baiknya Bung Tukang Sayur, juga teman-teman yang lain menggunakan nama asli agar bila ada yang ingin melakukan konfirmasi atau pembicaraan yang lebih pribadi dapat langsung kontak. Agar kita bisa bertanggung jawab dan lebih sehat menikmati dunia.

salam hangat
Frino
Pengelola Kantor Beritaseni Indonesia

Komentar oleh beritaseni

mas frino yang baik..

sebut saja saya tukang sayur. saya sudah cukup puas dengan profesi itu di tanah ini, sebab biasanya profesi inilah yang banyak menghadirkan kesegaran di dalam rumah saya selama ini, sebab nonton tv ya basi, liat film di boongin holywood terus, …. jadi seniman..? wah selama kolom pekerjaan ( seniman )di tingkat kelurahan saja belum mampu anda bela,jangan coba -coba melihat ke awan, di tabrak kereta berabe.( padahal gampang.. tipsnya : tanyakan pegawai kelurahan tsb setiap upacara bendera apa yang anda nyanyikan, pasti indonesia raya, tanyakan lagi siapa yang buat, seniman atau tukang gali tanah, pasti di jawab seniman, NAH..binggo berarti kolom pekerjaan bisa di isi SENIMAN, bukanya SWASTA )

buat bung-bung yang mau berdiskusi, atau mau menegejek saya silahkan kirim email saja ke odienk_zeppelin@yahoo.com. pertanggung jawaban secara individu JELAS ada, tapi imajinasi akan tetap menjadi liar saya kira bila tidak bertatap muka, ( Kan era internet kus ..)

oiya, buat bung-orang yang merasa di deskreditkan, jangan gusar, dalam demokrasi pasti ada demonstrasi bukan, dan saya sudah siap di bilang monyet, bodoh, atau anjing sekalipun, tetapi harap saudara juga jangan marah, klo saya panggil babi, demit,dan bajingan.

buat para manusia ( yang mengaku-ngaku kurator ) harap siapkan kuping anda, menurut saya ini adalah konsekuensi logis dari profesi anda, makanya tidak banyak orang yang mampu menjadi kurator, bukan begitu cok. ( cukup elit kan profesinya)

mas ato aa frino yang baik…..

Pada intinya saya tetap mendukung berita seni.., saya doakan yah ( di baca dengan gaya benteng takeshi )… tulisan yang bersifat ilmiah dan mampu di pertanggung jawabkan secara faktual akan segera saya kirimkan berikut alamat blog saya,

MERDEKA….!!!

Komentar oleh tukang sayur

Lama-lama serangan ‘babi’ (maksudnya membabi buta) Anda pada dunia seni rupa jadi lucu juga,ya…hahahaha…

Dan, wah, serangan bertubi-tubi Anda terhadap – diantaranya – saya secara pribadi bukan ini kali saya alami. Saya sering dikecam dengan cara-cara ofensif semacam ini. Saya senang sekali karena dihibur dengan cara-cara seperti Anda..

Tapi, ada dua hal yang ingin saya sampaikan, pertama saya gak perduli dengan sejumlah argumentasi yang Anda utarakan, karena tidak mempengaruhi saya sebagai saya. Untuk itu, sejauh kecaman yang anda tuduhkan tanpa itikad diskusi yang kondusif, saya terus-terang malas menanggapi. Dulu mungkin iya..hehehehe…

Kedua, harus diakui, tantangan Anda memang menarik untuk di elaborasi sebagai wacana, meskipun saya tahu juga gak bakal banyak gunanya. Maaf, saya banyak kerjaan ketimbang menimpali Anda lebih lanjut. Apalagi dengan nama alias yang tidak menunjukkan identitas Anda..Saya hilang hormat. Lebih baik saya menengok ke awan, seperti yang Anda bilang…terimakasih sudah mengingatkan..sebab saya merasa terlalu dalam bergaul dengan arus bawah..hahahahaha!!

Terimakasih juga sudah mau menanggapi ihwal elitisme seni rupa..dan sampai jumpa..Semoga saya ada waktu ke Karang Taruna seperti yang Anda usulkan, meskipun juga saya tahu gak akan banyak manfaatnya…Lha, saya juga gak perduli dengan dunia seni rupa Indonesia?..disitulah Anda jadi sangat humanis, karena perduli sekali..selamat perduli dari saya, selamat marah-marah ke kurator yang lain…Ya, saya doakan semoga Andalah yang paling benar…

Salam untuk tukang sayur yang lain..

Komentar oleh Aminudin TH.Siregar

Ada baiknya bung Tukang Sayur ini membuka diri secara gamblang. Saya pikir itu akan lebih membuat suasana diskusi menjadi nyaman dan kita semua dapat berdiskusi dengan baik. Selain itu kalau boleh saya ikut berpendapat, pada akhirnya sebuah tudingan – apapun dan dengan sebutan apapun – adalah sah selama ada argumentasi yang dibangun dan dipertanggungjawabkan. Semua orang saya kira bisa saja marah dan memaki-maki selama yang ada alasan yg jelas dan benar, bukan sekadar marah ‘marah babi’ (istilah Ucok untuk marah membabi-buta dan saya setuju).

Untuk Frino yang sudah mau bersusah payah membangun ‘kantor berita seni’ ini, selamat dan dukungan senantiasa

Komentar oleh Fahmi Faqih

Adik tukang sayur yang baik,

Dugaanku, sampeyan mahasiswa Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, berusia di bawah 35 tahun. Dugaan lain, sampeyan gagal lolos seleksi FKY 2007. Aduh, gagal maning, gagal maning. Kasihan! Padahal event ini sudah menyiapkan dana Rp 500.000,- perseniman yang lolos seleksi. Ya, tak banyak, tapi ini soal komitmen kurator dan panitia yang semoga bisa diapresiasi dengan baik. Ini kali pertama, Divisi Seni Rupa FKY nyiapin dana hingga 18 juta hanya untuk peserta. Bandingkan dengan 18 kali perhelatan FKY sebelumnya. Sayang, sampeyan tak lolos.

Oleh karenanya, dik tukang sayur, aku pahami betul situasi psikologismu yang luar biasa frustrasi, pikiran kalut, acakadut, yang memunculkan amarah tiada alang kepalang. Ya, ampyyuuuunnn! Bayangin, untuk nulis kata “sekadar” kau keliru jadi “sekedar”, “akhir-akhir ini” jadi “ahir – ahir ini”, “dibiasakan” jadi ”di biasakan”, “didominasi” jadi “di dominasi”, “ditambahin” jadi “di tambahin”. Ini perkara kecil yang bisa jadi cermin dari keseluruhan kalutnya cara berpikirmu, dik!

Engkau juga bertanya: “Sebenarnya semua ini bila sampai pada tahap kesepahaman dan apa namanya ?” (Kutipan asli dari tukang sayur).

Fyiuh! Untuk bertanya saja kau tak jelas mengartikulasikannya! Engkau mau omong apa sih, hai pemuda berpikiran jadul? Begitu kok mau bicara soal “rasa dan karsa dalam ranah budaya kesahajaan”. Rasa berbahasamu sudah merumitkan persoalan hidupmu, dik tukang sayur! Di tahap permukaan aja engkau sudah tak punya “rasa”, gimana aku ngajakmu omong substansi? Pasti kamu gagal memahami. Bisa jadi kau tak bisa membedakan mana mentimun mana krai, mana kobis mana sawi, mana luncang mana seledri.

Jadi, jangan pernah kau pamer padaku weblogmu (sudah telat), daripada kau malu karena weblogmu tak ada substansinya. Jangan pernah nunggu aku mengimelmu karena aku tak kan pernah menantangmu. Sebaliknya, janganlah malu untuk mampir di weblogku, http://www.kuss-indarto.blogspot.com. (Maaf, 4 weblog lain piaraanku tak publikasikan untukmu). Jangan malu untuk mengumpatku di kuss.indarto@gmail.com.

Kutunggu rasa dan karsamu yang bersahaja, dik tukang sayur! Nyalakanlah lilin, bukan mengutuk kegelapan! Atau lupakan semuanya, dan kau tak akan pernah jadi apa-apa, juga tak mampu menyumbang apapun untuk dunia!

N.B. Frino, tolong komentarku ini diimelkan ke tukang sayur itu ya. Kali aja dia lagi dagang keliling, lupa buka imel.

Salam hangat,
Kuss Indarto

Komentar oleh kuss indarto

Demi membangun diskusi yang sehat, sudah kukirim file Bung Kuss ke seseorang berinisial Tukang Sayur. Selanjutnya semoga Bung Kuss mau menjawab emailku yang terdahulu.

salam hangat
frino

Komentar oleh beritaseni

wah…diskusi sangat panas. Sayangnya, saya cuma bisa merasakan ‘panas’ tanpa tahu apa yang menyebabkannya.

Komentar oleh franky medan

PAMERAN SENI RUPA BERSAMA
“SEKARAT”
Rumah Atap Alis dan mahasiswa Seni Rupa UNJ
6-12 September 2007

Pembukaan Pameran:
Live Music: Orkes Harap Maklum & Sanggar Akar
(Kamis, 06-09-2007, pukul 19.30-selesai)

Diskusi Seni dan Budaya
Narasumber:
M Fajrul Rachman & Bp. Yadi (pegrafis)
(Jumat, 07-09-2007, pukul 14.00-16.00 w.i.b)

Workshop Wayang Kardus
Budi (Taring Padi) & Kirun (Sanggar Seni Delima)
(Senin, 10-09-2007, pukul 13.00-16.00 w.i.b)

Mural Bersama
-Atto & Isrol
– (Selasa, 11-09-2007, pukul 13.00-16,00 w,I,b)

Penutupan Acara
Performance Arts:
-Harmoni Kota
-Arief”Nganga” Darmawan
(Rabu, 12-09-2007, pukul 19.00-selesai)

Revitriyoso Husodo
Koordinator

GALERI PUBLIK
Institute for Global Justice
Jl. Diponegoro No. 9 Menteng, Jakarta Pusat 10340
Telp. 02131931153, Fax0213913956
Email. galeri_publik@globaljust.org/www.galeripublikmultiply.com

Komentar oleh revitriyoso husodo

Notulensi
DISKUSI SASTRA KORAN
Adakah Nasionalisme dalam Sastra Indonesia?
(Mengkaji Cerpen “ CORAT-CORET DI TOILET”, Karya Eka Kurniawan)
Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER)
Galeri Publik Institute for Global Justice (IGJ)

Kamis, 30 Agustus 2007-08-31

Galeri Publik
Istitute of Global Juastice

Nurani Soyomukti:
Saya disini akan memandu diskusi yang bertemakan Adakah Nasionalisme dalam Sastra Indonesia di Era Globalisasi. Sebagaimana tadi sudah diawali oleh Bung Revi di pembukaan, peran sastra dalam membangun kesadaran nasionalisme cukup besar. Kalau boleh saya tambahkan, kita bisa menelisik sejarah jaman pergerakan Indonesia di mana para aktivis politik dan pejuang rakyat juga menggunakan sastra dan aktivitas tulis untuk melawan penjajahan. Bahkan koran, sebagai produk baru modernisasi yang memang harus diakui sebagia cangkokan kolonialisme yang menghendaki industrialisasi kapitalistik, juga digunakan sebagai alat propaganda, bahkan polemik juga terjadi.
Nama-nama pengarang juga muncul, sebut saja Raden Mas Marco, Semaoen, dan juga apa yang dikisahkan Pram sebagai Minke yang merupakan gambaran tokoh yang getol berjuang dengan pena, yaitu Tirto Adi Suryo. Karya-karya roman semacam “Hikayat Kadiroen” dll memiliki peran kuat untuk menyadarkan akan adanya kondisi penjajahan belanda.
Sayangnya, peran sastra dalam masyarakat ditumpulkan sejak Orde Baru berkuasa da memasung kreativitas literer. Kita masih ingat siapa yang bawa buku novel karya Pram ditangkap. Dan sejarah dan sastra pun ditumpas demi kepentingan kekuasaan.
Baru setelah reformasi terbuka, saya kira, mulai ada ruang untuk menulis dan berkreasi sastra. Era reformasi juga dicirikan dengan terbukanya liberalisasi pasar. Maka pertanyaannya adalah: bagaimana wajah sastra dalam era yang disebut globalisasi.
Dan kita, dalam diskusi ini, akan membahas salah satu karya sastra yang ditulis mas Eka, Corat-Coret di Toilet. Terus terang saya dan panitia belum dapat melacak kapan dan dimana cerpen ini dimuat, saya sudah berusaha melacak di website Sriti.com yang mendokumentasikan karya sastra, tetapi belum ditemukan. Tapi, saya pribadi menduga, cerpen ini ditulis sebelum terjadi proses reformasi pada saat mahasiswa mulai tak percaya pada lembaga politik formal’; sehingga, membaca cerpen ini, toilet bisa dijadikan sarana untuk menyalurkan keluh kesah dan ekspresi pikiran. Sebagaimana kita baca tadi, mahasiswa menuliskan berbagai macam tuntutan melalui dinding toilet.
Dan mungkin untuk lebih jelasnya, nanti kita akan mendengar penjelasan penulisnya secara langsung, kapan dan dalam konteks sosial yang bagaimana cerpen itu dibuat. Jadi saya beri waktu pada Mas Eka Kurniawan untuk berbicara pertama karena beliau adalah penulisnya, dan nanti secara berurutan disusul oleh para pembicara yang lain.
Silahkan Mas Eka.
Eka Kurniawan:
Ya.. selamat malam kawan-kawan. Sebelumnya terimakasih atas undangannya ke forum ini…
Cerpen ini saya tulis bukan di era sebelum reformasi sebagai mana tadi didugakan oleh Kawan Nurani. Justru saya menulisnya setelah reformasi terjadi dan Soeharto tumbang. Saya lupa kapan menulisnya, kira-kira tahun 2000-an, karena saya juga tak punya klipingnya. Yang jelas, konteksnya adalah ingin menggambarkan bagaimana setelah ruang demokrasi terbuka sejak 1998, sebenarnya belum terdapat kebebasan sepenuh-penuhnya. Artinya, reformasi belum menciptakan suatu tatanan yang memberikan ruang demokrasi dan kesejahteraan bagi rakyat, dan setelah itu kan masih banyak gerakan yang menuntut perubahan sejati karena pemerintahan reformasi juga belum bisa memberikan kebutuhan-kebutuhan rakyat.
Dan, mahasiswa di kampus-kampus juga masih menginginkan gerakan dan sebagian merasa tak puas. Sehingga mengungkapkannya lewat toilet.
Berapa orang yang ngomong soal negara, tetapi juga hanya sedikit orang yang mampu melakukannya dengan baik.
Lalu apa yang dinamakan kemampuan berekspresi juga belum dapat dilakukan. Maksudnya, tidak semua orang mampu mengekspresikan dirinya secara verbal lewat tulisan. Menulis di koran hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tertentu, dan memang membutuhkan keahlian atau teknik tertentu, atau ketelatenan tertentu.
Tetapi fakta bahwa setiap orang ingin mengungkapkan diri lewat apapun itu tak dapat dipungkiri. Kalau kita lihat seorang anak akan menuliskan namanya dengan media apapun, atau, bukan hanya toilet tetapi juga berbagai macam media yang dapat digunakan untuk mengekspresikan diri—sebagai hakekat kemanusiaan untuk bereksistensi.
Nah, saya melihat gejala itu juga terjadi pada tahun-tahun setelah reformasi terjadi. Pada waktu itu, seingat saya, saya menumpuai toilet yang dicorat-coret oleh mahasiswa, di toilet perpustakaan UGM tempat saya kuliah.
Dan saya mencoba mengangkatnya menjadi sebuah cerita pendek untuk mengambarkan bahwa ruang demokrasi yang masih belum dapat memberikan wujud nyata perubahan membuat rakyat dan mahasiswa mencari cara untuk menungkapkannya lewat toilet.
Nurani Soyomukti:
Ya itu tadi Kawan-kawan, paparan dari Mas Eka. Dan ternyata saya salah, karena cerpen tersebut justru ditulis setelah reformasi terjadi. Oya, mungkin perlu saya tambahkan bahwa Mas Eka malam hari ini juga datang bersama istrinya Mbak Ratih Kumala yang juga sama-sama seorang cerpenis dan novelis produktif. Dan Mas Eka sendiri selain menulis fiksi, juga menulis buku non-fiksi; yang setahu saya buku “Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis” yang diterbitkan Gramedia.
Dan selanjutnya waktu saya berikan pada Mas Ramses Sihar Simatupang, beliau ini adalah mantan redaksi sastra Sinar Harapan dan juga sastrawan muda yang cukup produktif menulis esai, cerpen, dan puisi. Mungkin beliau akan lebih bisa bercerita soal sastra koran, dan politik redaksi. Nah, apakah beliau dalam memilih cerpen yang akan diterbitkan itu mendasarkan diri pada cerpen yang bertemakan kerakyatan ataukah ada pertimbangan lain. Silahkan Mas Sihar…
Ramses Sihar Simatupang:
Terimakasih atas waktu dan undangan yang diberikan kepada saya. Sebelumnya saya ralat, bahwa saya jangan disebut sebagai MANTAN redaksi Budaya/sastra karena saya merasa masih menyukai masalah sastra, saya masih menulis esai, dan kadang juga masih memilih kiriman karya sastra dari penulis untuk koran kami (Sinar Harapan).
Kalau bicara soal sastra koran, kita bisa merujuk apakah ia berbeda atau sama dengan genre sastra yang lain.
Keragaman bentuk media yang bisa dijadikan sarana publikasi karya sastra akan memberikan warna baru bagi perkembangan sastra itu sendiri. Kita tidak perlu memilah-milah istilah untuk berbagai media sastra tersebut. Karena setiap saat media sastra selalu berkembang mengikuti perjalanan teknologi mutakhir. Beberapa abad lalu sebelum ada media berbentuk teks, orang mempublikasikan sastra secara lisan dari mulut ke mulut atau lazim disebut dongeng. Setelah ada kertas maka sastrawan mengapresiasikan karya sastranya ke dalam teks, melalui buku-buku dengan tulisan tangan, kemudian cetak (printing). Setelah ada penerbitan koran, maka kesempatan untuk mempublikasikan karya sastra semakin terbuka lebar. Hingga kini muncul berbagai media baru seperti internet dan compac disc. Lalu apakah perlu melakukan pengelompokan sastrawan dan karya sastra sesuai dengan bentuknya?

Sebagaimana saya tuliskan dalam makalah saya, sastra koran juga anak kandung sastra, juga bagian dari warga sastra dunia. Betapa banyaknya nama-nama pengarang dunia yang berada di rak buku kita. Seperti kita juga terhenyak puisi kita masuk dalam situs-situs negeri lain karena kesamaan nasib, empati dan kesamaan peristiwa. Apakah yang menularkannya, yang membuat si pembaca menyimpan karya dari negeri asing itu, karya dari pengarang yang bahkan si pembaca tak pernah mengenal si pengarangnya? Sehingga Wiji Thukul menjadi milik suara kaum buruh, sehingga Rendra diingat oleh generasi 1980-1990, sehingga Taufik Ismail hadir dalam referensi musik Bimbo untuk menyuarakan kedekatan spiritualitas individual kita terhadap Tuhan.
Untuk kekuatan itu, sastra koran dari cerpen, puisi dan cerita bersambung berusaha terus untuk menyisakan kesan semacam itu, walau hanya bisa layak hadir di mata pembaca dari matahari terbit sampai matahari terbenam. Tapi siapakah yang sanggup melepaskan kenangan si pembaca hingga keesokan harinya dan hari-hari selanjutnya? Siapakah yang sanggup menahan tangan pembaca untuk menyimpan karya itu menjadi sebuah kliping? Atau menuliskan kembali sebuah puisi di koran (tentu dengan tetap menuliskan nama penyairnya), mengetikkannya di komputer, atau memasukkannya di milis atau bloger.
Bisa juga si pembaca kemudian menyimpan dan merenungkannya secara pribadi, lalu bersama individu-individu yang lain kemudian meneruskannya sebagai sikap bermasyarakat, sikap berinteraksi antar manusia, sikap berbangsa dan sikap berideologi…
Kalau demikian tentu saja nanti akan muncul istilah sastra(wan) buku, sastra(wan) koran, sastra(wan) saiber, hingga sastra(wan) compac disc, atau entah istilah apa lagi. Tentu saja pengistilahan seperti ini hanya akan menimbulkan beragam persepsi tentang sastra yang mengarah pada perdebatan tidak menguntungkan. Padahal hubungan simbiosis mutialismenya tetap sama. Lalu kalau kita harus berbicara masalah kualitas sastra di berbagai media tersebut tetaplah tidak akan mendapatkan jawaban yang sama. Sebab ukuran kualitas adalah sesuatu yang relatif dan subyektif. Dan semua orang mempunyai hak untuk menentukan kualitas karena tidak ada batasan-batasan penilaian. Begitu juga dengan redaktur budaya di media massa, tentu ukuran kualitas dari semua media tidak akan pernah sama bila orangnya juga berbeda.
Lalu, soal apakah ada nasionalisme dalam cerpen koran Eka Kurniawan yang berjudul “CORAT-CORET DO TOILET”, saya kira… kita nggak bisa melihatnya secara hitam putih. Karya sastra memang harus menjaga ruang estetik, dan tidak dapat dikerangkeng dalam jeruji ideologis atau tuntutan tertentu, meskipun saya tetap beranggapan bahwa karya yang bagus adalah yang memberikan penyadaran dan bicara mengenai masyarakat secara luas.
Cerpen “Corat-Coret di Toilet” karya Eka ini, menurut saya, mampu memberikan nilai estetik yang berhasil, dan dengan mengangkat sebuah ruang (yang bernama toilet), serta terdiri dari fragmen-fragmen… misalnya kalau kita lihat: pergantian antara mahasiswa yang menulisi dinding toilet dengan latar belakang yang berbeda-beda… menunjukkan bahwa ruang kebebasan yang bernama dinding toilet pun akan menjadi ajang bagi manusia-manusia yang berbeda untuk mengungkapkan berbagai macam anagn-angan dan eksistensi dirinya.
Martin Aleida:
Saya kenal baik dengan Eka. Dia teman baik saya, juga istrinya Ratih yang juga sering ketemu dan diskusi.
Emm.. terimakasih saya telah diundang dalam forum ini, yang sebenarnya menggantikan Helvy Tiana Rosa. Dan tidak seperti tertuliskan di banner, saya bukan berasal dari suatu organisasi. Jadi tulisan di banner (Meja Kerja Budaya PDS HB Jassin) tidak seharusnya ditulis dengan huruf besar (seharusnya “meja kerja budaya”) karena ia bukanlah organisasi atau forum yang terikat dalam satu kepentingan. Ia adalah semacam paguyuban yang sifatnya cair, siapa saja boleh masuk. Kami membahas hanya membuka kumpulan orang yang minat pada masalah berkarya, saling mengapresiasi karya, dan siapa saja boleh masuk.
Emmm.. terus terang saya tak begitu suka dengan cerpen Eka berjudul “CORAT-CORET DI TOILET” ini. cerpen ini tidak memiliki karakter tokoh yang tetap, dan saya lebih suka cerpen-cerpen Eka yang lain.
Saya kira kalau bicara nasionalisme untuk menghadapi globalisasi, kita tak bisa meniggalkan fakta bahwa setiap orang memiliki perbedaan dalam memberikan sikapnya pada kehidupan. Sastrawan disini memiliki kepekaan. Entah suatu kebetulan atau bukan, sastra Indonesia modern terlahir bersamaan dengan mulai menyingsingnya fajar nasionalisme Indonesia. Jatuh bangunnya sastra Indonesia modern tidak terlepas dari dialektika sejarah terbangunnya nasionalisme itu sendiri. Dan tafsir atas nasionalisme tentu tidak terlepas dominasi kekuasaan suatu rezim politik sebagai bagian dari praktik politik hegemoni.
Akibatnya, perkembangan dan pertumbuhan sastra Indonesia seakan-akan tidak bisa terlepas dari rezimisasi kekuasaan politik. Apa yang dominan atau menjadi mainstream dalam wacana kesastraan senantiasa bergayut dengan mainstream di dalam kekuasaan politik.
Implikasi lebih jauh dari fenomena tersebut adalah bahwa arus pertumbuhan sastra senantiasa terbelah dalam dua haluan yang selalu berseberangan: antara yang pro dan kontra rezim. Di era awal kebangkitan nasional, di mana kekuasaan rezim dikuasai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, maka sastra yang “berkuasa” pun tentu bercorak kolonialistis, setidak-tidaknya “yang direstui” oleh pemerintah kolonial.
Sayangnya, sastra Indonesia juga menjadi epigon[1] dari hubungan yang menjajah, baik sejak penjajahan maupun hingga sekarang. Kita punya nama-nama karya besar dan sastrawan besar, sebut saja Chairil Anwar. Tapi tidak bisa dikatakan ia sebagai sastrawan yang berdiri sendiri, bahkan dapat saya katakan bahwa ia adalah “penerjemah”. Ia membuat puisi yang merupakan terjemahan karya sastrawan Belanda. (Chairil Anwar dituduh menjiplak banyak sajak karya penyair dunia, lalu diakui sebagai karyanya sendiri. Polemik pun merebak. Yang pro dan kontra saling memberikan argumentasi. HB Jassin bertindak sebagai wasit, berhasil menetralisirnya melalui buku “Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45” (1960)).
Nama lain seperti HAMKA yang pada saat itu disebut menghasilkan karya besar juga belakangan diketahui menjadi epigon dari karya dari negara luar. Pengarang Hamka dituduh sebagai plagiat ketika menulis novel “Tenggelamnya Kapal van der Wijck”. Novel ini memiliki kemiripan dengan karya seorang pengarang Mesir, Musthafa Luthfi Al Manfaluthi.
Dan epigon-epigon semacam itu, saya kira terus berulang-ulang. Tetapi saya tetap menghargai karya Eka ini. Terimakasih.
Nurani Soyomukti:
Ya itu tadi paparan dari para pembicara pada diskusi kali ini. Kita tadi telah mendengar paparan dari penulis (Mas Eka Kurniawan), tentang bagaimana proses kreatif dari cerpen tersebut. Oya, barangkali perlu saya beritahukan pada kawan-kawan bahwa selain menulis fiksi baik cerpen maupun novel, Mas Eka juga menulis buku non-fiksi. Setahu saya ia menulis buku “PRAMOEDYA ANANTA TOER DAN SASTRA REALISME SOSIALIS” yang setahun lalu diterbitkan lagi oleh Gramedia, jadi saya yakin dia bukan hanya menulis tetapi juga memikirkan dan memahami pemikiran sastra dan kehidupan. Dan ternyata saya tadi salah ketika menduga bahwa karya tersebut ditulis sebelum era reformasi.
Lalu kemudian, Mad Ramses yang melihat bahwa proses kreatif Eka sebenarnya tak terlalu kaku dan dia berusaha menggambarkan bahwa seorang penulis memang tak boleh terbatasi dengan jeruji ideologis yang akan menghambat eksplorasi kreativitas. Dan dicatat bahwa yang menarik dari cerpen Eka adalah adanya fragmen-fragmen pergantian antara pelaku yang digambarkan secara detail, dengan karakter yang berganti-ganti.
Lalu Bang Martin juga menguraikan suatu kritik yang menarik dalam sastra Indonesia, munculnya karya sastra yang seringkali menjadi epigon. Dalam hal ini pengaruh dari luar sangatlah kuat bagi perkembangan sastra Indonesia. Dan memang, menurut saya, perkembangan sastra Indonesia memang butuh kritik sastra.
Nah, sekarang waktunya bagi saya untuk menyerahkan pada audiens yang ada disini untuk diskusi, bisa bertanya atau memberikan komentar pada apa yang telah disampaikan. Jadi termin ini saya berikan pada tiga orang dulu, kita masih punya waktu sekitar satu jam.
****
Eko P. Darmawan
(Penulis “Agama Bukan Candu”, dari Malang/Jatim):
Menurut saya, setiap penulis atau pengarang memiliki semacam asumsi filosofis yang digunakan untuk memandang dunia, dan itu akan mempengaruhi tulisannya. Dan tentu saja pandangannya itu akan mempengaruhi pembaca. Nah, saya melihat gaya cerita yang muncul dan berlembang dalam dunia penulisan kita biasanya terlalu pragmatis, seakan kayak mirip kisah sinetron yang selalu berujung pada fatalisme… yang biasanya tokoh-tokohnya hanya tahu hal hal, kalau tidak pasrah, jahat, juga menyerahkan pada hal-hal yang gaib (Tuhan atau setan).
Maksud saya, itu adalah cata berpikir masyarakat Indonesia secara umum.saya kawatir hal itu juga mempengaruhi gaya kepenulisan pengarang kita, dan itu sungguh terjadi kalau kita melihat kebanyakan cerpen dan novel yang masih didominasi oleh
Kisah-kisah gaul, teenlit, cheecklit, dll.
Saya terus terang belum membaca cerpen CORAT-CORET di TOILET, tetapi tadi sempat mendengar yang dibaca di depan. Saya kira, cerpen itu memang tidak terlalu pragmatis, dan ada aspek sosial yang hendak diangkat di dalamnya. Saya hanya ingin bertanya pada ketiga pembicara soal tanggungjawab pengarang dalam menuliskan karyanya.
Halim Thole
(Staf Ahli DPR RI/
Pengajar Filsafat Seni Fakultas Sastra Universitas Mercu Buana):
Saya punya punya pandangan bahwa dunia sastra seringkali terjebak pada ideologi, atau terbebani oleh tanggungjawab untuk menciptakan sesuatu pada pembacanya dan menyadari bahwa karyanya harus memberikan suatu pandangan hidup pada masyarakat. Saya kira ini akan kontradiktif dengan wilayah seni/sastra itu sendiri karena di sana berurusan dengan keindahan. Sementara ideologi adalah pandangan hidup yang seringkali bersifat kaku dan bertentangan dengan prinsip estetika itu sendiri.
Masalahnya nasionalisme adalah sebuah ideologi yang belakangan juga dapat dengan mudah ditafsirkan oleh siapa saja. Berhadapan dengan globalisasi, saya kira nasionalisme telah mengalami semacam kelunturan dan hanya digunakan untuk memanipulasi kesadaran massa.
Gayatri
(Penulis Lepas):
Saya sangat sependapat dengan apa yang dikatakan Bung Martin bahwa karya sastra dan para penulis di negeri ini memang selalu menjadi penjiplak atau dalam bahasa Bang Martin epigon itu tadi.

________________________________________
Catatan Panitia: EPIGON berarti pinggiran, posisi mengikuti atau meniru, atau yang dipenharuhi. Yang namanya ekor letaknya selalu di belakang. Ia membuntuti sesuatu yang berada di depannya. Dalam kepenulisan, orang yang meniru-niru gaya tulisan seorang penulis lazim disebut epigon. Sebagaimana ekor yang takkan pernah mendahului kepala, seorang epigon tidak akan pernah berhasil mengungguli penulis yang ditirunya. Lantas salahkah menjadi epigon? Salahkah bila kita meniru gaya bertutur JK Rowling atau gaya kontemplatif Goenawan Mohammad?

Komentar oleh revitriyoso husodo

Boleh nih numpang iklan……..maaf sebelumnya kalo enggak pas ama suasana diskusi.

saya ingin menawarkan lukisan Affandi yang berjudul “Jembatan Bambu” buatan tahun “1986” berukuran 100cm X 120cm. lukisan berada di Yogyakarta. lukisan tidak ber-registrasi karena bukan barang musium (lukisan dari kerabat affani sendiri).

untuk lihat gambar silahkan lihat pada http://davidgallery.blogs.friendster.com/my_blog/

harga yang saya tawarkan 1,2 M silahkan hub : 08995135777/085643898840 ARya

maaf atas terganggunya diskusi, atas waktunya terima kasih

Komentar oleh ARya

Numpang iklan juga….
Seorang teman meminta tolong untuk menjualkan sebuah lukisan karya AFFANDI dengan judul BUNGA KANNA, tahun pembuatan 1983, ukuran panjang 130 cm lebar 100 cm, bahan kain terpal.
HArga yang ditawarkan Rp. 500 juta.
Lukisan dan teman saya berlokasi di Magelang dan saya tinggal di Semarang.
Jika berminat dapat menghubungi saya di reef_fandee@yahoo.co.id
untuk saya kirim gambar lukisannya.
Saya bersedia menemani ke lokasi (Magelang) untuk check lukisan atau negosiasi langsung dengan pemilik.

Terima kasih
ARIEF AFFANDI
reef_fandee@yahoo.co.id

Komentar oleh ARIEF AFFANDI

Undangan Partisipasi & Peliputan

“Salam sejahtera Kaum petani dan kaum pekerja Seni!”

Sehubungan dengan ditetapkannya tanggal 24 September sebagai “Hari Tani Nasional”, maka dengan ini kami mengudang rekan-rekan wartawan sekalian untuk meliput kegiatan Galeri Publik bersama para pekerja seni yang tergabung dengan kelompok Grafis Membara, IKJ (Institut Kesenian Jakarta) menggelar:

OBROLAN SENI BUDAYA

“SENI DAN KEBERPIHAKAN TERHADAP PETANI”

16.00-selesai (buka puasa), Kamis, 27 September 2007

Pembicara:

Firman Lie (IKJ)

Magdalena Agung (Seniman)

Moderator: Revitriyoso Husodo

DALAM PAMERAN GRAFIS:

“CELEBRATING THE FARMER’s DAY”

24 September-7 Oktober 2007

GALERI PUBLIK, Institute for Global Justice

Jl. Diponegoro no. 9, Menteng, Jakarta Pusat

informasi: Rangga Lawe 021-31931153

Kami menunggu kedatangan rekan-rekan sekalian.

Hormat kami, Revitriyoso Husodo / Koordinator galeri Publik

Komentar oleh Revitriyoso Husodo

Halo, salam kenal…. saya orang awam yang baru akan mulai belajar mengenai seni. satu hal yang saya dengar merupakan prinsip beberapa kolektor karya seni bahwa ” karya seni tidak bisa dilepaskan dari bisnis!” itu sebabnya para kolektor yang mungkin juga awalnya awam tentang kualitas karya membutuhkan seseorang yang mengerti tentang seni, dan jabatan serta wewenang itu secara sah dimiliki oleh seorang kurator. Untuk “tukang sayur” mungkin hal seperti ini belum bisa anda fahami dengan baik. Kenapa seorang kurator perlu menengok ke awan? karena kalau hanya atau terlalu sering menengok ke bawah atau sekeliling saja dia tidak dapat mengetahui karya seni seperti apa yang disebut bagus atau jelek. Cita rasa akan kualitas karya seorang seniman tidak akan dapat dia ukur. Apa parameternya? dengan membandingkan suatu karya dengan karya lainnya, karya lokal dengan karya dari luar negeri, sapuan kuas seorang pelukis dengan pelukis yang menjadi kiblatnya atau pelukis lain yang satu aliran dengan dia. Itu adalah pengertian sederhana saya sebagai orang awam untuk coba belajar memahami tentang karya seni. Kenapa kolektor biasanya kaum elit sosial atau ‘orang berduit’? kalau anda seorang seniman, anda pasti merasa bahwa karya yang anda hasilkan adalah ‘masterpiece’. tapi itu adalah anggapan anda pribadi secara subyektif, tapi anda pasti ingin orang lain juga menghargai karya itu setinggi penghargaan anda pada karya anda dan anda ingin menjual karya itu dengan harga yang menurut anda ‘sebanding/senilai’ dengan karya itu. Orang yang mampu membeli karya anda dengan harga yang anda patok tinggi memang cuma kaum elit sosial toh?! dan untuk anda sebagai seorang seniman baru, mana mungkin ada orang yang dengan begitu saja menghargai anda sebagai seniman dan menghargai karya anda, mengenal kedalaman jiwa anda melalui karya anda, apalagi sampai membeli karya anda dengan harga tinggi tanpa rekomendasi dari seseorang yang mereka anggap mengerti tentang karya anda, seseorang yang mereka anggap kredible untuk merekomendasikan karya atau seniman. Anda butuh kurator untuk mengeksiskan diri dan karya anda di bidang seni. jadi apabila anda ingin ‘tersentuh’ oleh kemasan seni, sentuhlah sang pencipta kemasan bukan mengecamnya karena anda tidak mampu menjadi seperti dia. Strategi anda untuk eksis salah total! sekian komentar saya dan terima kasih sudah mau membaca. Buat berita seni dan mas frino, Great job! Happy New Year everyone, Best Wishes for next year to all of us. Vitaliasari

Komentar oleh Via

boleh jg sich galeryny .

tp .

ttp kerenan gravity w .

he33x . . .

bcanda .

Komentar oleh p . a . n . d . u

(Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at, 26 Oktober 2007)

Strategi Paradigma Baru Kongres Cerpen Indonesia V
(Studi Kasus: Polemik Ukuran Nilai Sastra)
Oleh Qinimain Zain

FEELING IS BELIEVING. ILMU diukur dari kekuatannya merumuskan hukum-hukum yang berlaku umum dan hubungannya atas kenyataan, seni dinilai dari pergulatannya dengan hal-hal yang partikular dan penciptaannya atas sesuatu yang belum ada dalam kenyataan (Nirwan Ahmad Arsuka).

JUM’AT, Sabtu dan Minggu, 26-28 Oktober 2007 ini, berlangsung Kongres Cerpen Indonesia V di Taman Budaya, Banjarmasin, yang rencana dibuka orasi budaya oleh Wakil Gubernur Kalimantan Selatan, HM Rosehan Noor Bachri, yang dihadiri ratusan sastrawan, budayan dan intelektual seluruh Indonesia. Dan, panitia sudah memastikan akan tampil pembicara hebat seperti Lan Fang, Korie Layun Rampan, Jamal T. Suryanata, Agus Noor, Saut Sitomorang, Nirwan Ahmad Arsuka, Ahmadun Yosi Herfanda, Kantrin Bandel, dan Triano Triwikromo. Dari forum ini diharapkan banyak masukan kemajuan. Sedang, tulisan ini hanyalah oleh-oleh kecil dari saya (Kalsel) akan masalah polemik panjang Taufiq Ismail-Hudan Hidayat yang masih jadi ganjalan.

Polemik adalah fenomena biasa. Namun, untuk memecahkan dan menjelaskannya polemik sastra (baca: seni) menonjolkan seks sekalipun, harus berdasar sistem ilmu pengetahuan. Jika tidak, hasilnya berbantahan dan sakit hati berkepanjangan. Artinya, bagaimana pun harus dengan kritik akademis, yang diharapkan mampu memberi jalan ke arah penyehatan kembali kehidupan kesusastraan.

Lalu, apa kesulitan sesungguhnya memecahkan hal seperti ini?

Kembali berulang-ulang memberitahukan (dan tidak akan bosan-bosan – sudah ratusan pemecahan), akar masalahnya adalah sebelum tahun 2000, (ilmu) pengetahuan sosial belum dapat disebut sebuah ilmu pengetahuan, karena tidak memenuhi Total Qinimain Zain (TQZ) Scientific System of Science yaitu memiliki kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum (kecuali Teori Hirarki Kebutuhan Abraham H Maslow, proposisi silogisme Aristoteles, dan skala Rensis A. Likert tanpa satuan, belum cukup monumental). Adalah tidak mungkin menjelaskan sebuah fenomena apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistemnya. (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).

YANG baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam jawaban (Robert Spaemann).

Mengenai polemik. Inti pertentangan adalah beda pandangan akan nilai kebenaran sesuatu. Menurut Eric Johnson, setiap orang selalu mempunyai reference point atau titik referensi, yaitu apa yang sudah dialami, diketahui atau diyakininya. Artinya, bila titik referensi seseorang atau kelompok masyarakat dengan orang atau kelompok yang lain tentang sesuatu berbeda, apalagi dimuati kepentingan, polemik mungkin terjadi. Namun sesungguhnya, seorang pribadi dan sebuah kelompok masyarakat yang bahagia, bukan disebabkan tidak adanya pertentangan, tetapi karena tidak adanya keadilan kebenaran. Jadi yang penting dalam pertentangan, mengetahui keadilan pandangan kebenaran pribadi seseorang dihadapkan dengan pandangan orang lain yang berseberangan akan sesuatu hal itu. Artinya, untuk menengahi sebuah pertentangan dan menentukan nilai kebenarannya agar obyektif, harus berdasar kerangka referensi pengetahuan pengalaman yang teratur, yang tak lain sebuah sistem ilmu pengetahuan.

SETIAP kebijaksanaan harus bersedia dipertanyakan dan dikritik oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan lain. Keberlakuan universal harus dapat membuktikan diri dalam konfrontasi dengan mereka yang berpikir lain (Benezet Bujo).

Dalam paradigma TOTAL QINIMAIN ZAIN: The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000), TQZ Philosophy of Reference Frame, terdapat jumlah lima fungsi, berurutan, berkaitan, dan satu kesatuan, kebenaran sesuatu dinilai berdasar titik referensi (1) How you see yourself (logics), (2) How you see others (dialectics), (3) How others see you (ethics), (4) How others see themselves (esthetics), sampai ke level (5) How to see of all (metaphysics), yang harus ditanyakan sebelum keputusan menjatuhkan nilai kebenaran sesuatu dalam pertentangan.

Di sini terdapat hubungan dan pergeseran referensi nilai kuantitatif dengan kualitatif. Dari level logics (benar) yang kuantitatif, ke dialectics (tepat), kemudian ethics (baik), lalu esthetics (bagus), sampai ke level metaphysics (abadi) yang semakin kualitatif. Atau, penekanan referensi sesuatu bergeser dari nilai kebenaran kelompok besar menjadi lebih secara satuan individu, dari hal bersifat konkrit (logika) menjadi abstrak (metafisik). Nampak jelas pula, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, bisa dianggap tidak benar oleh yang lain karena mempunyai titik referensi yang berbeda. Atau malah, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi tidak tepat bagi yang lain, tepat tetapi tidak baik, baik tetapi tidak bagus, dan mungkin saja bagus tetapi dianggap tidak abadi sebagai kebenaran suatu keyakinan tertentu. Dan, jika sampai pada keyakinan nilai kebenaran abadi, ini sudah sangat subyektif pribadi. (Sudut pandang level How you see others dan How you see others, How others see themselves dan How others see you, adalah subyektif karena dalam sudut pandang reference object dan reference direction, sedang How to see of all, adalah lebih obyektif, level adil).

Ada paradoks di sini. Semakin menilai kebenaran sesuatu mengutamakan kepentingan umum (kuantitatif) akan meniadakan kepentingan pribadi (kualitatif). Sebaliknya, semakin mengutamakan kepentingan pribadi (kualitatif) akan meniadakan kepentingan umum (kuantitatif). Ini yang harus disadari dalam menghadapi dan dijelaskan menengahi suatu polemik atau pertentangan apa pun, di mana pun dan kapan pun. Dan, sastrawan (baca: seniman) sadar, harga sesuatu karya terletak kemampuannya menciptakan momentum nilai di antara tarik ulur paradoks ini. Antara konvensi dan revolusi, antara pengaruh nilai lama dan mempengaruhi nilai baru.

SENI kemajuan adalah mempertahankan ketertiban di tengah-tengah perubahan, dan perubahan di tengah-tengah ketertiban (Alfred North Whitehead).

Kembali ke polemik ukuran nilai sastra menonjolkan seks. Dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru TQZ, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas, dan D(ay) atau Hari kerja (sistem ZQD), padanan m(eter), k(ilo)g(ram), dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta, sistem mks). Artinya, kebenaran sesuatu bukan hanya dinilai skala kualitasnya (1-5Q dari sangat buruk, buruk, cukup, baik, dan sangat baik), tetapi juga sempurnanya (1-5Z, lima unsur fungsi TQZ, yang untuk TQZ Philosophy of Definition, yaitu logics, dialectics, ethics, esthetics, dan metaphysics secara berurut). Artinya, kekurangan atau keburukan salah satu fungsi membuat suatu karya nilainya tidak sempurna.

Contoh, definisi paradigma lama, kesusastraan adalah tulisan yang indah. Paradigma baru, nilai keindahan tidak lengkap kalau tidak dikaitkan dengan unsur kebenaran, ketepatan, kebaikan, dan keabadian. Kini, definisi TQZ kesusastraan adalah seni tulisan yang benar, tepat, baik, bagus (indah), dan abadi secara sempurna. Artinya, bila ada pertentangan nilai akan karya sastra (juga yang lain), menunjukkan karya itu memiliki salah satu atau lebih unsur filsafatnya buruk, sebagai sebuah karya yang sempurna. (Memang, sah saja penulis mengejar keunikan atau kebaruan pribadi, mengeksploitasi unsur seks dalam karyanya. Mungkin saja berkualitas segi logika cerita, dialektika nilai, keindahan teknis penulisan dan karya monumental (abadi) suatu genre sehingga juara dalam satu perlombaan. Tetapi dalam paradigma TQZ, tidak sempurna karena abai unsur etika).

Sekarang jelas, yang dikejar penulis mana pun, bukan sekadar ukuran nilai kualitas beberapa unsur, tetapi karya dengan kualitas nilai kebenaran (lima unsur yang) sempurna. Inilah titik kerangka referensi bersama menilai karya sastra (dan juga apa pun) dalam sistem ilmu pengetahuan paradigma baru.

SEKOLAH dan kuliah, seminar dan training, buku dan makalah, ulasan dan kritikan, tanpa menyertakan alat metode (sistem ilmu pengetahuan) pelaksanaannya hanyalah dorongan mental yang membosankan, yang tidak efektif, efesien dan produktif (Qinimain Zain).

BAGAIMANA strategi Anda?

*) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)

Komentar oleh Qinimain Zain

salam budaya…
salam perubahaan…
maaf aku nyelonong diruang publik ini… salam kenal aja wat semua, aku baru coba-coba masuk ke dunia maya ini..asalnya aku gak percaya ada sesuatu yang bisa aku tulis dan aku ungkapkan lewat dunia teknologi canggih ini…atas ajakan dan dorongan adik-adiku yang “gaul” suka mainin komputer di warnet..jadi aku tertarik untuk masuk ke dunia kalian..
awalnya mengira dunia maya ini hanya untuk kelompok dan orang-orang yang aku anggap “libralis” yang hanya mengedepankan informasi-informasi penghacur seni budaya bangsa saja…eeeeeeeeeeeeeeh ternyata mesuk dunia maya ternyata banyak hal yang aku temukan, termasuk informasi tentang Beritaseni Indonesia ini…aku ucapkan terimakasih wat temen-temen yang masih mau memfasitasi membuat ruang dan media komunikasi ini, berharap ruang ini menjadi ruang ekspresi bagi semua orang…aku bagian warga masyarakat Indonesia yang ada disekitar kawasan Hutan gunung Gede-Pangrango Jawa Barat, aktivitasku berkesenian (Lukis, Patung dan teater)dan ke Volunteeran..kalu mau menhubingi aku lewat ini aja : manualarts@rocketmail.com

Komentar oleh eko wiwid

Salam kenal untuk moderator & semua pembaca Beritaseni Indonesia.
Nama saya Ito Saito & saya seorang perupa pemula yg masih awam ttg komunitas pelukis & tggl di Jakarta. Saya tdk berniat berkomentar tp sekadar ingin bertanya meminta info.
Saya ingin bergabung dgn sanggar atau studio seni lukis/pelukis yg aktif melakukan kegiatan melukis bersama. Saya prnh mencari di yahoogroups tp mereka sdh tdk aktif.
Apakah saya bisa minta info kpd moderator & pembaca Beritaseni ttg komunitas/sanggar/studio seni rupa di Jakarta yg aktif melukis bersama? Boleh lokasi, alamat, no. kontak, e-mail, blog atau websitenya.
Saya jg pernah membaca ttg Rumah Seni pelukis Syahnagra Ismail, tp saya tdk tahu maksudnya; apakah sebenarnya tujuan dr Rumah Seni-nya bpk. Syahnagra Ismail? Dan apakah moderator/ pembaca ada yg tahu alamat/ lokasi/ no.tlp/ dlsb-nya ttg Rumah Seni?
Sekian e-mail dr saya, sebelumnya terima kasih atas perhatian & jawabannya.
Jawaban bisa ke itosaito@yahoo.co.id

Komentar oleh Ito Saito

hehe…saya ikut juga nawarin 1 lukisan gan….,ada 1 koleksi saya karya maestro affandi”dewa kwangkong” dan 1 koleksi lukisan paku buwono X,dijual gan….masing masing 600 dan 500jt,hub ane di: dparis546@gmail.com

Komentar oleh abu

Hi there everyone, it’s my first go to see at this site, and article is truly fruitful in favor of me, keep up posting these articles or reviews.

Komentar oleh sertanejo

I really like what you guys are up too. This
kind of clever work and coverage! Keep up the very good works guys
I’ve you guys to blogroll.

Komentar oleh Atomic Email Studio

Its not my first time to pay a quick visit this web site, i
am visiting this web site dailly and obtain pleasant information from here all the time.

Komentar oleh photositelinks.com

Hi! I just want to offer you a huge thumbs up for the great info
you’ve got right here on this post. I’ll be coming back
to your blog for more soon.

Komentar oleh Nicole

I am truly happy to glance at this blog posts which includes lots of helpful information, thanks for
providing these kinds of statistics.

Komentar oleh Embroidery Services

Hello Dear, are you actually visiting this web page on a regular basis, if so
after that you will absolutely obtain good
know-how.

Komentar oleh Irvin

Everyone loves it when people come together and share
ideas. Great site, stick with it!

Komentar oleh adhocspace.com.sg

After going over a handful of the articles on your blog, I really appreciate your way of blogging.

I bookmarked it to my bookmark site list and will be
checking back in the near future. Please check out my web site too and let
me know how you feel.

Komentar oleh 1 balmoral

Fastidious answer back in return of this issue with genuine arguments and telling everything about that.

Komentar oleh Juanita

I seriously love your website.. Great colors & theme.
Did you build this amazing site yourself? Please reply
back as I’m hoping to create my own site and want to know where you got
this from or just what the theme is named. Kudos!

Komentar oleh Shopping Reviews

I am sure this piece of writing has touched all the internet
visitors, its really really pleasant piece of writing on building up new blog.

Komentar oleh Ina

Somebody essentially help to make severely articles I might state.
That is the very first time I frequented your website page
and so far? I amazed with the research you made to make this particular submit amazing.
Great job!

Komentar oleh Musicasdecarnaval.com

Hello There. I discovered your blog the use of
msn. That is a really smartly written article. I’ll be sure to bookmark it and come back to read extra of your useful information. Thank
you for the post. I will certainly return.

Komentar oleh business marketing

Excellent article. I’m going through many of these issues as well..

Komentar oleh blogs

I can never fathom why there is a huge number of
professionals and supposed SEO gurus who don’t know anything
p.s Never take guidance from people on the Warrior Forums haha

Komentar oleh Marylyn




Tinggalkan komentar