Filed under: Literature
Teks oleh Heru Hikayat
Sabtu, 4 Agustus 2007, Khazanah––Lembaran Khusus Budaya di koran Pikiran Rakyat (PR) memuat sajak-sajak Saeful Badar. Senin, 6 Agustus 2007, di halaman depan PR, tepat di sebelah foto besar aksi penjaga gawang Manchester United, ditayangkan kolom kecil “Permohonan Maaf”. Redaksi PR meminta maaf atas pemuatan sajak berjudul “Malaikat” pada Khazanah 4 Agustus 2007. Dikatakan PW Muslimat NU Jabar dan “sejumlah ormas Islam” telah memprotes sajak tersebut karena dianggap menghujat akidah Islam. Redaksi PR dalam pernyataan itu mencabut sajak tersebut dan menganggapnya tidak pernah ada.
Saya sudah beberapa tahun malas membaca sajak. Saya pun tidak membaca rubrik sajak di Khazanah 4 Agustus lalu. Justru pernyataan pencabutan sajak itulah yang membuat saya membaca dan berusaha menyimak baik-baik sajak-sajak Saeful Badar.
Jumat 10 Agustus 2007 sekitar jam 9 pagi saya terima pesan pendek dari Rahim (redaktur Khazanah), “Heru, saya sudah tidak di Khazanah lagi, penggantinya belum ditetapkan, terima kasih atas kerjasamanya selama ini”. Sejak mulai disiarkan sekitar tahun 2000an, tulisan saya memang paling banyak dimuat di Khazanah, termasuk pada masa Rahim menjadi redaktur. Pagi itu saya tidak mencium persoalannya. Sore harinya, saat menghadiri diskusi Kekerasan (di) Media Massa di Pusat Kebudayaan Perancis (CCF) Bandung, dan bertemu beberapa kolega penulis, baru saya mulai menghubungkan pesan Rahim dengan pemuatan sajak Malaikat. Hikmat Gumelar dari Institut Nalar (penyelenggara diskusi) menutup pembicaraannya pada pembuka forum diskusi dengan mendeklamasikan sajak Malaikat.
MALAIKAT
Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai makhluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu
Dan maut
Ke saban penjuru.
(2007)
Ada 3 sajak Saeful Badar lain disamping sajak Malaikat. 2 dijuduli “Pantai Cimanuk”. Satu lagi dimuat paling bawah dijuduli “Penyair”.
Saya punya sejumlah penafsiran atas sajak-sajak Saeful Badar. Tapi dalam surat ini saya akan langsung melompat pada soal paling prinsipil: apa sih artinya sajak itu? Apa artinya sebuah karya seni? Sepanjang pengalaman saya, orang sering sekali mengkonfirmasikan pertanyaan ini pada seniman. Jika bisa berbincang langsung dengan seniman, kelihatannya kesempatan ini amat baik untuk menyoal “arti” karya. “Mas/Mbak, apa sih maksudnya bikin karya seperti itu?”. Bagi saya pribadi pertanyaan kepada seniman ini, sekalipun bisa dianggap informasi dari tangan pertama, tetap tidak bisa dijadikan faktor paling determinan untuk memaknai karya seni.
Ketika karya telah disiarkan, baik pengarang maupun pembaca punya kedudukan setara dalam praktek pemaknaan. Si pengarang dipengaruhi berbagai faktor dalam merumuskan ide dan mewujudkan karya, demikian pula pembaca dalam memirsa karya. Siapakah yang paling berhak memaknai karya seni? Tidak ada. Persis di sini indahnya dunia seni, yaitu suatu alur diskursif. Makna merupakan hasil negosiasi, melalui proses diskusi. Semua orang setara.
Pernyataan bahwa sajak Malaikat menghujat akidah Islam merupakan kesimpulan dari proses memaknai karya dari sebagian pihak. Kesimpulan mengenai makna sebuah karya seni tidak bisa dipaksakan kepada khalayak. Sebagian pihak tidak bisa memaksakan pemahamannya atas sesuatu kepada pihak lain. Pemaksaan semacam ini hanya terjadi di bawah rejim otoriter. Dan kita banyak belajar bahwa di bawah rejim otoriter seni justru sering muncul sebagai oase dari apa yang biasa dikumandangkan sebagai “kebebasan berpendapat”. Kenapa? Sederhana saja, karena prinsip kesetaraan dalam memaknai karya seni.
Saya tidak tahu apakah redaksi PR sebelum mencabut sajak Malaikat berdiskusi terlebih dahulu dengan Saeful Badar. Saya juga tidak tahu apakah memang benar Rahim dicabut kewenangannya sebagai redaktur Khazanah karena memuat sajak Malaikat. Dan kalau ya, saya juga tidak tahu apakah Rahim diajak berdiskusi sebelum pihak redaksi mengambil keputusan. Yang penting adalah, pihak redaksi PR tidak bisa “mencabut” sajak yang telah disiarkan. Ini kan mustahil; bagaimana bisa suatu teks tertulis yang telah dicetak banyak-banyak dan disebarkan kemudian dianggap tidak ada?
Redaksi PR mencabut sajak dengan alasan bahwa ada protes dari sementara pihak. Artinya redaksi PR mengakui bahwa bukan dirinya sendiri yang berkepentingan dengan ruang di PR. Walaupun pihak redaksi adalah pengelola media massa, tetap saja ruang tersebut merupakan ruang publik, artinya banyak yang berkepentingan. Dan makin kentara ke-publik-an di ruang itu makin bagus kualitasnya.
Terakhir, hari ini Senin 13 Agustus 2007 sekitar jam 4 sore, Aminudin TH. Siregar, seorang kolega kurator, mengirim pesan pendek, “sebaiknya penulis-penulis mogok nulis di Khazanah, kalau memang Rahim dicopot karena memuat sajak, jelas enggak fair…saya pribadi bersedia mogok nulis di PR”. Saya sampai sekarang masih ragu apakah boikot merupakan tindakan yang paling efektif. Tapi sesuatu memang harus dilakukan, sebab, sungguh merupakan hal yang sangat tidak wajar jika redaksi PR mengambil keputusan dengan hanya memperhatikan satu warna pendapat dari sebagian pihak. Sungguh merupakan ketidak-adilan jika redaksi PR mencabut sajak dan mencabut kewenangan Rahim tanpa melalui diskusi.[]
Bandung, 13 Agustus 2007
* Kurator seni rupa, tinggal di Bandung
49 Komentar so far
Tinggalkan komentar
Bung Heru, tawaran Bung Aminuddin TH Siregar, menarik!!! Aku juga sepakat kalau para penulis memboikot PR.
Alasan :
1. Pikiran Rakyat tidak demokratis
2. Media massa yang diklaim sebagai ruang publik bukan milik sekelompok orang.
3. Bahwa pemahaman agama tidaklah berupa doktrin apalagi ancaman kepada seseorang/sekelompok orang, melainkan dialog yang sehat.
Dan kepada Saudara H.M. Daud Gunawan, Wakil Ketua Umum
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jawa Barat, [dan antek-anteknya] saya sarankan menarik kembali pernyataan Saudara yang mengatasnamakan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jawa Barat [apalagi mengklaim diri perwakilan dari umat Islam] karena tidak mencerminkan azas Islam yang demokratis.
Tindakan Saudara benar-benar memalukan!
Selain itu pemahaman Saudara mengenai sastra yang menyinggung agama Islam adalah tidak beralasan. Dan setelah membaca pernyataan Saudara berulang kali jelaslah bahwa lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia, Jawa Barat memang kurang kerjaan.
hormat
frino bariarcianur barus/pengelola Kantor Beritaseni Indonesia
west borneo
n.b ada yang mau nambahin lagi gak?
Komentar oleh beritaseni Agustus 15, 2007 @ 1:56 amKalo penyair merasa bebas berekspresi, kenapa mereka memasung kebebasan berekspresi pihak lain yang tidak setuju dengan syair yang mereka buat. Bukankah protes atas sebuah syair juga merupakan kebebasan berekspresi? Be fair, please…!
Lagi pula, siapa yang menyamakan Saeful Badar dengan Salman Rushdie? Coba dong baca pernyataan DDII di PR secara seksama, setahu saya ada kalimat pengandaian: “Jika… dimaksudkan; Jika… sengaja….”. Nah, dengan telah minta maafnya PR dan Saeful Badar, mengakui kekhilafah, beres sudah masalahnya, tuntas! Gak perlu diperpanjang atau dijadikan momentum untuk “unjuk apa pun” lah… PR dan Badar-nya aja mengaku khilaf, mengapa pula justru yang lain yang merasa “benar” dengan sajak itu? Ini isu sensitif, Bung! Peace ah….!!!
Komentar oleh Ahmad Faiz Agustus 15, 2007 @ 8:25 am“Malaikat” bukan hanya milik Islam, agama lainpun punya “malaikat”. Jangan picik.
Kabarnya sebelum ini juga PR pernah mencopot salah satu redakturnya gara-gara memuat berita korupsi pejabat berinisial “OS” dan yang bikin yang bersangkutan berang. Silakan tafsirkan sendiri seperti apa sebenarnya “jeroannya” PR.
salam
Komentar oleh budd Agustus 15, 2007 @ 8:29 ambudd
Fais, apa benar bung antek-anteknya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jawa Barat? hehehehe.
Kayaknya Bung sendiri yang mikirin “momentum”, yang lain enggak tuh hahahaha…aku sendiri malah sibuk mikirin cari rejeki, nah lho? Kasus seperti ini sudah sering terjadi, sialnya yang suka kebakaran jenggot pastilah ormas yang mengaku/mengklaim Islamnya paling benar. Ingat HB Jassin dulu, bagaimana beliau mempertahankan keyakinannya utk membela sang penulis? Ingat kasus Agus Suwage?
Momentum taik kucing
Dan orang-orang juga ngerti kok Bung, protes atau kritik itu sah. Hanya yang bikin ngehek kalau protes itu dibarengi dengan ancaman. Tiba-tiba saja si redaktur dicopot dari kurisnya, trus si penyair, Saeful Badar harus membuat pernyataan minta maaf. ngawur…ngawurrrrr Bung
masalah moral …masalah akhlak …biar kami cari sendiri, kata iwan fals
hormat
Komentar oleh beritaseni Agustus 15, 2007 @ 2:22 pmfrino [west borneo]
Saya masih belon mengerti di mananya yang menyerang akidah Islam. Kalo akidah menurut versi sebagian orang memang mungkin iya (walau tetap saja saya tidak lihat menyerang sih) .
Udah boikot ajalah, kan masih banyak koran lainnya.
Komentar oleh danalingga Agustus 15, 2007 @ 3:06 pmmasalahnya berekpresi dengan memberangus.
Komentar oleh danalingga Agustus 15, 2007 @ 3:07 pmSetidaknya penyair tidak sampai mengancam akan melakukan demonstrasi seperti yang dilakukan oleh sekumpulan orang yang merasa sajak itu melecehkan agama Islam. Tindakan itu sudah menunjukkan kalau penyair cukup fair
Komentar oleh adi Agustus 15, 2007 @ 3:48 pmApapun bentuknya, pelarangan berekspresi merupakan kezaliman paling nyata trerhadap kreativitas penulis. Tak ada yang salah dalam sajak Malaikat-nya Saiful Badar. Sebagai muslim, dia juga berhak untuk menggunakan “malaikat” sebagai metafor. “Apalogi” terhadap sajak Malaikat juga bisa dibaca di http://sawali.wordpress.com/2007/08/12/bunuhlah-imajinasiku-dengan-puisiku/
Komentar oleh Sawali Tuhusetya Agustus 15, 2007 @ 5:24 pmSalam budaya, merdeka!
bung frino dan kawan-kawan. sungguh blog yang seger. baru kali ini aku tahu, itupun setelah ada kasus ini.
untuk saeful badar. minta maaf itu baik, tapi untuk alasan apa? saeful mesti menjelaskan bagaimana proses kreatif dia sampai pada sajak itu.
untuk dewan dakwah islamiyah, memberangus kebebasan kesenian itu nggak baik. tapi kita mesti dengar apa alasannya.
untuk pikiran rakyat, menganggap puisi yang dimuat dan sudah masuk dalam domain publik sebagai sesuatu yang tidak pernah ada, itu celaka dan secara paradigmatis sesat pikir. tapi kita mesti dengar alasan pr juga.
bisakah ketiga pihak itu bertemu dalam sebuah ruang publik yang terbuka, memperbincangkan pendapatnya masing-masing tanpa kekhawatiran dan ketakutan? kantor berita seni mau memfasilitasinya, barangkali?
-dwi-
Komentar oleh dwi Agustus 15, 2007 @ 5:28 pm[…] Ada yang luput dari perhatian saya. Maafkan. Ini soal pembrangusan puisi berjudul Malaikat karya Saiful Badar yang dimuat di Pikiran Rakyat, Sabtu 4 Agustus. Beberapa blog sudah mengulasnya di sini, di sini. […]
Ping balik oleh Solidaritas Saya Untuk Puisi Malaikatnya Saiful Badar Yang Diberangus « Sudut Pandang Agustus 15, 2007 @ 7:08 pm[…] Surat Terbuka Mengenai Kasus Sajak Malaikat […]
Ping balik oleh Malaikat « f e r t o b Agustus 15, 2007 @ 11:27 pm[…] Surat Terbuka Mengenai Kasus Sajak Malaikat […]
Ping balik oleh Sajak Protes Kepada Malaikat « Sebuah Perjalanan Agustus 16, 2007 @ 9:23 amKnapa ga gantian ulama bikin sajak
PENYAIR
Mentang-mentang punya pena
Penyair begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai makhluk bebas
Tapi juga melenakan dan usil
Ia meniup-niupkan protes
Dan kebebasan yang babalas
Ke saban penjuru.
(maap tapi saya bukan ulama)
Komentar oleh Irwan Agustus 16, 2007 @ 10:17 amBesok kita memperingati hari kemerdekaan, tapi apakah kita sudah bebas merdeka untuk bicara baik lisan maupun tulisan? tanpa takut terancam? .. tapi kita juga harus menyadari kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain. Tidak bebas sebebasnya .. sehingga diperlukan kearifan .. bukan tentang benar – salah, menang – kalah.
Komentar oleh erander Agustus 16, 2007 @ 10:43 amsaya simak puisinya. menurut saya segar dan menggelitik. aneh sekali jika akhirnya jadi polemik. buat PR…cobalah belajar dan berkaca pada realitas saat ini…begitu banyak pekerjaaan rumah bagi media massa sebesar anda untuk membangun pencerahan berfikir bagi rakyat…naha jadi kurung batok keun
Komentar oleh tasri jatnika Agustus 16, 2007 @ 11:10 amwah…jangan jangan…sebentar Lagi ada yang bikin sajak, sebagai bentuk protes terhadap para blogger yang protes terhadap Kasus Sajak Malaikat ini :
BLOGGER
Mentang-mentang punya keyboard
Blogger begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai makhluk kritis
Padahal gak punya kuasa apa apa, kalah kuasa dia
Ia kerap meniup niupkan protes
<strikeDan trekbek
Ke saban penjuru.
(2007)
Yah…mungkin benar kalau ada ungkapan bahwa negara kita masih belum merdeka…
Komentar oleh Mrs. Neo Forty-Nine Agustus 16, 2007 @ 12:54 pm😦
wah…jangan jangan…sebentar Lagi ada yang bikin sajak, sebagai bentuk protes terhadap para blogger yang protes terhadap Kasus Sajak Malaikat ini :
BLOGGER
Mentang-mentang punya keyboard
Blogger begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai makhluk kritis
Padahal gak punya kuasa apa apa, kalah kuasa dia
Ia kerap meniup niupkan protes
Dan trekbekKe saban penjuru.
(2007)
Yah…mungkin benar kalau ada ungkapan bahwa negara kita masih belum merdeka…
Komentar oleh Mrs. Neo Forty-Nine Agustus 16, 2007 @ 12:56 pm😦
ini kasus menarik yang bisa dijadikan pembelajaran mengenai unsur-unsur ekstrinsik puisi. para siswa akan mencari dan menemukan bahwa saeful badar sebenarnya adalah penyair yang sangat religius.
Komentar oleh abu habla Agustus 16, 2007 @ 1:40 pm[…] Ah, semoga Matt tak seperti mereka. Oia, sajak juga pernah saya tulis disini sebagai […]
Ping balik oleh Sajak Blogger dan Ulang tahun « Siwi’s Personal Website Agustus 16, 2007 @ 1:45 pmBuat Bung Ahmad Faiz, tidak ada niat penyair mau memberangus tafsir lain. Sah sah saja ada orang menafsir puisi itu menghujat Islam. Masalahnya bukan di sini. Tapi Tafsir ini kemudian dipaksakan hingga menutup pintu bagi tafsir lain. Dan tentang penyepadanan Saeful Badar dengan Salman Rushdie, ternyat punya dampak pada keseharian. Lebih lanjut akan saya kirimkan laporan dari hasil konferensi pers di Cupumanik, 14 Agustus lalu. Makasih.
Komentar oleh Heru Hikayat Agustus 16, 2007 @ 4:55 pmOh ya… kebebasan berekpresi…
Kebebasan untuk memberangus kebebasan orang lain, anda sebut itu kebebasan?
Kebebasan my assBuku dilawan dengan buku. Hujjah dilawan dengan hujjah. Jangan sikit2 main ancam main paksa. Buka mata! Hidup ini banyak warna. Anda pilih putih, saya pilih merah. Silahkan ajukan alasan masing2 kenapa memilih warna masing-masing. Tapi dengan satu titik pegangan: KITA BISA SEPAKAT UNTUK TIDAK SEPAKAT™!
Kalau sedikit2 main berangus, apa bedanya orang2 seperti anda dengan Stalin, Hitler, dan rezim2 otoriter di muka bumi? Malulah sikit sama Ghazali dan Ibnu Rusyd. Mereka beda pendapat, tapi bisa mengajukan hujjah masing-masing.
Komentar oleh alex Agustus 16, 2007 @ 11:56 pm[…] BeritaSeni […]
Ping balik oleh Malaikat Oh Malaikat « RosenQueen Company Agustus 17, 2007 @ 12:28 am[…] tentang kekangan kebebasan seni mengingatkanku pada Arts have no grammatical and lexical error. Surat ini mungkin menjadi pemicu…kenapa Kang Adhi, Bang Fertobhades, Danalingga dan tentunya Kekasih […]
Ping balik oleh Puisi Anak Bangsa « Generasi Biru Agustus 17, 2007 @ 12:43 amlagi-lagi tentang “pemilik agama islam” ya?
Komentar oleh roysuryoasu Agustus 17, 2007 @ 3:08 amya demikian lah. kondisi Indonesia saat ini. Kejadian ini telah mengingatkan kita, siapa yang menjadi puncak ‘rantai makanan ‘ di Indonesia.
Buat bung Ahmad Faiz, kalau soal Saeful Badar meminta maaf, coba tilik dulu bagaimana kondisinya saat meminta maaf itu[jangan jangan sedang ditekan habis2an]. Dan tolong jangan samakan dengan permintaan maaf koran PR yang kondisinya masih harus memikirkan berbagai aspek [menyangkut oplah koran barangkali ;p]
n.b buat bung Heru Hikayat, saya salut kalau bung Heru menerima ajakan boycott dari bang Ucok . Sebab seperti bung Heru tulis sendiri bahwa bung Heru adalah orang yang paling banyak memberi kontribusi tulisan pada lembar suplemen khazanah, tentunya keikut sertaan pemboycott-an bung Heru terhadap koran PR akan menbawa dampak yang sangat berarti.
Komentar oleh ekoyagami Agustus 17, 2007 @ 10:07 pmo ya, sekalian bagi para blogger yang mau lihat tulisan di surat pembaca apa saja yang ditulis oleh DDII dan permintaan maaf resmi Saeful Badar silahkan liat http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/082007/07/99suratpembaca.htm
Komentar oleh ekoyagami Agustus 18, 2007 @ 12:15 amHalo. Saya senang dengan deretan komentar ini, terutama karena jadi banyak puisi, haha..
Komentar oleh Heru Hikayat Agustus 18, 2007 @ 11:33 amBung Irwan oke banget tuh: kenapa enggak para ulama bikin puisi yang menghujat penyair? Puisi dilawan puisi.
Bung Dwi, benar juga: yang diharapkan ada forum mengemukakan masing2 argumen: Saeful Badar, DDII, dan PR. Terus ada pihak lain: ahli tafsir Quran-Hadits dan kritikus sastra (ini ahli tafsir juga kan?). Itulah kesalahan utama PR: dia telah menutup pintu dialog. Saya coba bicarakan dengan teman2 lain soal kemungkinan bikin forum dialog lanjutan.
Buat Bung Ekoyagami, maaf, saya bukan orang yang paling banyak memberi kontribusi tulisan pada Khazanah. Ini mungkin kelemahan pilihan kata dari saya (mohon maklum, agak emosional). Maksud saya adalah sebagian besar tulisan saya diterbitkan di Khazanah. Terima kasih banyak atas dukungannya dan koreksinya. Saya sedang serius mempertimbangkan boikot PR. Salam
Eh, elu-elu pada ngapain tuh? Ngributin gue? Urus aja elu sendiri, bini lu, anak lu, dapur lu! Atau emang elu baru bisa (dapat) makan dengan cara ngributin (atas nama) gue? Dasar lu yeeee…
Komentar oleh malaikat Agustus 18, 2007 @ 4:33 pm[…] Bukankah fasis namanya orang orang yang memberangus apa saja yang tidak sejalan dengan tafsirnya dia? […]
Ping balik oleh Godbless Facism ??? « Sebuah Perjalanan Agustus 19, 2007 @ 2:06 pmpersoalan sajak “malaikat” saeful badar menjadi lebih menarik ketika menjadi kajian secara linguistik dan art, tapi menjadi tidak menarik ketika masuk ke wilayah fiqih atau aqidah. so what gitu lo, apakah nilai-nilai keislaman saepul badar tidak lebih baik dari nilai-nilai keislaman para penghujatnya?
persoalannya bukan di sana. ada persoalan biografi yang dibawa oleh sang penulis (saeful badar) yang beragama (secara fiqih) Islam sehingga malaikat yang ada dalam sajak “malaikat” memiliki biografi Islam pula. padahal diksi malaikat terdapat di dalam ratusan bahkan ribuan karya sastra, seni, dan budaya lainnya. barangkali, mungkin, akan beda jika yang menulis sajak “malaikat” tersebut adalah Romo Mangun atau Romo Magnis atau Putu Wijaya (punten, sekadar contoh).
saya mencoba memberi tafsir pada sajak “malaikat” karya saeful badar, dan mendapat kesimpulan bahwa sajak tersebut bukan sajak religius.
sekali lagi, kita bisa memberi tafsir pada sajak sebagai bagian dari kajian linguistik dan art, sebab jika tafsir yang dipakai adalah kajian fiqih, kita sedang mengupas sebuah masalah dengan paradigma yang berbeda. tidak akan beda dengan menafsir agama dengan kajian politik atau teknologi.
kalau memang masih perlu dikaji secara bersama dengan disiplin ilmu yang berbeda, mari kita bikin forum (sebut saja pengadilan puisi jilid kedua) dengan menghadirkan seluruh elemen serta parapihak yang memiliki kepentingan di dalamnya. sebab, segala apa yang terjadi di bumi ini selalu disertai dengan kepentingan dan kesepakatan yang argumentatif. bahkan termasuk dalam teori penciptaan. so, saeful badar harus hadir dengan argumentasi penciptaan, pikiran rakyat dengan argumentasi pemuatan karya, dewan dakwah islamiyah indonesia dengan argumentasi protes, dan masyarakat dengan argumentasi keberpihakan. semua dilakukan dalam koridor dialog tanpa kekerasan secara fisik. bukankah saeful badar menulis sajak dan pikiran rakyat memuat sajak itu TIDAK dalam koridor kekerasan secara fisik pula?
bukankah ilmu itu tidak personal, tetapi universal? justru sebaliknya, bukankah aqidah itu tidak universal, tetapi sangat personal? mari kita tempatkan diri masing-masing pada posisi dan porsi masing-masing pula.
yang saya takutkan, jika wilayah-wilayah seni dan budaya, apalagi bahasa, sudah dirambah dengan semena-mena oleh aqidah, semua karya kreatif bakal terpasung. bagaimana nasib karya-karya seni tradisional yang sangat kental dengan kepercayaan di luar agama? misalnya, ruwatan laut dengan membuang kepala kerbau atau seni kuda kosong di cianjur yang diyakini berkaitan dengan kehadiran eyang suryakancana (diyakini sebagai jin). duh, …
Komentar oleh prince blade Agustus 19, 2007 @ 6:21 pm[…] beritaseni […]
Ping balik oleh Setan! « Buku, Pesta, Dan Cinta Agustus 22, 2007 @ 5:43 pmMALAIKAT
Mentang-mentang punya moral
Malaikat begitu manis dan baik hati
Ia berlagak sebagai makhluk yang kejam
Tapi cuma pura-pura dan gak serius
Ia meniup niupkan cinta
Dan kasih sayang
Ke saban penjuru.
(raka, august 07)
Komentar oleh raka Agustus 23, 2007 @ 11:35 amhidup frino!
Komentar oleh matdon Agustus 23, 2007 @ 3:14 pmini baru bahas malaikat..
belum lagi kl nulis soal tuhan
itu orang2 ngerti blog ngga ya?
kl iya, sepertinya mereka akan mati berdiri…
*apa saya juga harus mendelete beberapa tulisan saya tentang tuhan yah? next salman rusdhie? kabur ah…..
“janganlah kamu menggolok2an, karena bisa jadi orang yang kamu olok2an lebih baik daripada yang mengolok2an..”
life is paradox..
sometimes, ngga bisa dipungiki banyak sekali orang yang memanfaatkan kebebasan berekspresi sebagai media mengeksploitasi..
tapi ngga sedikit orang yang melakukan judge atas nama tuhan, padahal hanya karena pengetahuan yang terbatas..
ujung2nya semua kembali pada kita semua…
Komentar oleh throw Agustus 23, 2007 @ 7:39 pmhidup matdon!!
Komentar oleh Heru Hikayat Agustus 25, 2007 @ 12:47 ammakan tuh semua puisi dan nama kebebasan biar kalian semua sumpal di pantat kalian….saya merasa bahwa gak ada yang paling bener lah…gampangnya agama dan dunia selalu dipisahkan…silahkan nilai sendiri kenapa agama selalu dikatakan absolutisme, padahal tuhan sendiri kasih akal buat kita. jadi gak usah banyak komentar deh…mending cari hidup yang nyata-nyata aja
Komentar oleh ujang jamaludin Agustus 29, 2007 @ 2:21 pmBegini ceritanya. Sekitar bulan Maret tahun 2003 (atau seblumnya–saya lupa tepatnya kapan) Bambang Q. Anees menawarkan kepada saya kalau-kalau saya mau berbicara dalam sebuah diskusi di Pikiran Rakyat dalam rangka peringatan ulang tahun harian itu tentang perjumpaan antara Islam dan kebudayaan Sunda. Bambang waktu itu sedang punya prakarsa mengelola berbagai tulisan tentang budaya (ya kalau tidak salah tentang budaya) untuk dimuat di Pikiran Rakyat secara regular. Bambang minta agar saya membahas topik itu dari perspektif pascakolonial karena saya suka meracau tentang dan dalam wacana itu. Saya tentunya menerima tawaran itu karena merupakan kesempatan saya meracau di depan orang lain, bukan karena saya ingin menunjukkan bahwa saya memiliki hak dan kebebasan berekspresi atau karena saya merasa bahwa saya memiliki pengetahuan yang absolut tentang sebuah topik. Saya menerima tawaran itu karena ada gagasan di kepala saya, dan saya berharap jika saya sampaikan gagasan itu kepada orang lain, saya akan mendapat tanggapan supaya saya dapat belajar lebih banyak.
Jadilah, saya menyampaikan sebuah makalah berjudul “Mengingat Sambil Bercermin: Tinjauan Pascakolonial Terhadap Perjumpaan Kebudayaan Sunda dengan Islam” bersama Dadan Wildan, yang aktivis Persis dan pakar sejarah yang waktu itu baru saja memperoleh gelar doktornya itu, pada tanggal 20 Maret 2003. Dalam diskusi itu tampak ada beberapa tetua kebudayaan Sunda, seperti Yus Rusyana dan Jakob Sumardjo, yang menunjukkan ketidaknyamanannya terhadap beberapa hal yang saya katakan. Namun, saya pikir wajar saja kalau orang punya perspektif dan pendapat yang berbeda. Karena itu, saya tidak terlalu merisaukannya. Lagipula, pada tanggal 25 Maretnya, tulisan saya itu dimuat sesuai dengan paket tawaran Bambang Anees pada awalnya.
Beberapa bulan kemudian, karena saya pegawai negeri sipil yang mengajar di perguruan tinggi negeri perlu mengurus kenaikan pangkat demi kesejahteraan diri, saya berupaya mengumpulkan tulisan-tulisan saya. Kliping tulisan saya itu sedang dipinjam teman, jadi saya berupaya mencetak arsip Pikiran Rakyat yang tersedia di websitenya. Ternyata, untuk tanggal 25 Maret, ada arsip elektronik tulisan Dadan Wildan tetapi tidak ada arsip tulisan saya–seakan-akan tulisan saya sama sekali tidak pernah dimuat di Pikiran Rakyat. Reaksi pertama husnudhan saya adalah bahwa administrasi pengarsipan PR tenyata agak ceroboh. Namun, juga muncul pikiran jahat di kepala saya bahwa PR tidak berkenan tulisan tersebut ada dalam arsipnya dan sengaja menghilangkan arsipnya. sampai sekarang saya masih berkhayal bahwa alasannya kecerobohan dan bukan sensor.
Setelah Heru Hikayat menyebarluaskan “Surat Terbuka Mengenai Kasus Sajak Malaikat,” saya teringat kembali (dan memang tidak pernah benar-benar lupa) akan musibah yang menimpa tulisan saya tersebut. Mungkin PR harus memikirkan kelangsungan hidupnya sendiri, dan tidak mampu kehilangan dukungan dari pihak-pihak tertentu. Sayangnya, PR adalah sebuah surat kabar, dan seharusnya tidak memihak kepentingan salah satu kelompok. Yang suka dan yang tidak suka pada sajak “Malaikat” harus sama-sama mendapat kesempatan dimuat atas dasar pertimbangan estetis-teknis belaka, sebagaimana yang dikatakan oleh Rohim sendiri, bukan atas dasar kandungan tekstualnya.
Kita yang religius bisa berdoa agar PR menjadi lebih baik. Kita yang tidak terlalu religius bisa menyiarkan surat trebuka dan menulis di media lain saja.
Ari
NB Kalau ada yang berminat membaca tulisan saya yang saya sebut di sini silakan hubungi saya.
Komentar oleh Ari Adipurwwidjana Agustus 29, 2007 @ 7:05 pmAda temen yang ngasih tahu bahwa jika ada seseorang yang menganggap dirinya benar, ya, biarlah…itu sah-sah saja. Wong, tidak ada salahnya dengan menganggap diri benar. Namun saat seseorang tersebut beranjak lebih jauh dari sekedar menganggap dirinya benar akan tetapi oleh karenanya menganggap yang lain mutlak salah–dalam kasus ini si liyan tersebut diharuskan/menjadi harus meminta maaf dan sampe2 korannya ketakutan kehilangan pelanggan sehingga menjadi bias, maka barulah anggapan atas kebenaran diri ini menjadi tidak berimbang, tidak adil, dan jelas-jelas menggelikan.
PW Muslimat NU dan ormas Islam boleh-boleh saja melayangkan protes, namun ini tidak serta merta menjustifikasi pencabutan sajak tersebut, bahkan sampai menganggap sajak tersebut tidak pernah ada. Rasa-rasanya ormas2 tersebut tidak bermain elok, ya. Seolah-olah ada kesan memaksa yang pada akhirnya membuat Saeful Badar mengaku khilaf dan oleh sebab itu harus menarik kembali sajak yang telah dimuat di koran tersebut. Akan tetapi, andaikan Badar khilaf, dia sudah tidak ada urusan dengan sajak ini. Badar, PW Muslimat NU, PR atau siapapun tidak memiliki hak untuk mencabutnya.
Biarkan saja sajak Malaikat itu tetap ada. Tidak ada malaikat yang tersinggung apalagi marah, kok.
Terima kasih,
Stefanus
p.s. temen yang saya sebutkan di atas adalah dosen sastra inggris di Jatinangor, dia katanya sedang sekolah di US. Baru setahun. Adapun alasan saya menyebutkan ini semata tidak ingin mengambil untung dari perkataan orang.
Komentar oleh Stefanus Agustus 31, 2007 @ 1:17 pmboikot jalan teruss…
Komentar oleh Rene Richard September 4, 2007 @ 5:22 pm“““““““““““““““““““`
Kang Badar kumaha ayeuna ? damang ? diantos Karya-karya sanesna. Klo nga mau nulis lagi sajak spt Sajak Malaikat, tulis aja Sajak2 tentang Aku, kamu, mereka, atau tentang kekasih, kaya nya kang Badar jarang nulis tentang cinta, trauma kang ?
Komentar oleh KAPPAS September 21, 2007 @ 9:02 amnu kumaha nu disebut bebas teh. kabeh umat ge pasti kasigeung ari nyeureud-nyeuredud kana akidah mah. tong boroning urang islam, urang hindu atawa buda ge, komo karesten,sok gancang pundung lin ari agemanana dihina mah. baraleg sia barudak pro liberal. ngaku sastrawan rejeun mindeng ngahotbah (pesen moral) di satukanging sajak, cerpen, atawa novel, padahal jinisna mah puasa ge tara. nu aya kalah marabok, ngajarinah. ngarti siah. tai anjing kebebasan bereksfresi. baroga keneh nurani teu? ulah hayang katangar wungkul. tobat geura, bisi diajab manten ku nu kawasa.
Komentar oleh rahiyang rarieut bae September 26, 2007 @ 5:03 pmkebebasan bereksfresi tai anjing sia teh. hayangna bebas marabok, jarinah, atawa ngekeak agama wungkul sarilaing mah. heueuh kawas di utan kayu atawa di ciputat.
Komentar oleh dongdot bandung September 26, 2007 @ 5:10 pmsakitu heula keur saayeunaeun mah. memangna kami teu bisa ngocoblak kawas sarilaing
Komentar oleh borondong September 26, 2007 @ 5:13 pmDi sini pentingnya menjadi MANUSIA CERDAS, bukan text book thinking, dan mengekor kata buku anu kata teori ini tanpa pemahaman menjadi kataKU.
Adapun puisi malaikat yang tiba-tiba menyengat membuat orang kebakaran jenggot menunjukkan betapa masih banyaknya orang membaca Islam secara harfiah. Memahami segala sesuatunya secara kasat mata. Buat saya, puisi malaikat demikian jernih dan bening, sebagaimana polosnya mata anak balita melihat sesuatu secara kasat mata. Anak balita yang menangkap ajaran ustadz yang menggambarkan malaikat ya… seperti itu. Kembali harusnya kita bertanya dalam diri. Mengapa si penyair sampai mengungkapkan pengalamannya seperti itu? Tetapi para ustadz, dan tokoh agama semua menunjuk-nunjuk jari telunjuknya pada si penyair, mereka lupa ketika menunjukkan satu jarinya sementara sisa jarinya menunjuk ke dalam dirinya. Jadi, mestinya para ahli agama yang pintar membaca buku itu tapi tak menangkap yang tersirat isi bukunya, memeriksa dirinya jua. Mengapa bisa si penyair menulis secara lugu menggambarkan malaikat sebagaimana benda yang dipuja dan ditakuti seperti wujud mahluk? Koreksilah. Kesalahan utama awal pendidikan agama itu sendiri adalah dari penyampaian ajaran agama itu sendiri. Yang gandrung banget menyampaikan wujud malaikat itu sebagai wujud benda kasat mata. Yakni sebagai sesuatu yang menakutkan tentang kekejaman malaikat munkar dan nakir atau iming-iming tentang surga bersungaikan sungai susu, bertandan-tandan anggur dan pisang daaaaannnn……… suguhan kecantikan bidadari. Padahal ketika manusia mati tubuh fisiknya hancur jadi tanah. lalu bagaimana ruh yang tak berwujud itu memakan anggur, pisang, meminum susu, atau menikmati bidadar-i cantik itu? Mengapa sih, ajaran agama tidak disampaikan lebih hangat, lebih ramah yang muatan isi ajarannya berupa sikap laku pentingnya menyebarkan rasa cintakasih tak bersyarat bagi sesama manusia, apapun perbedaan ras dan keyakinannya. Mengingat dari ajaran agama itu sendiri pula, bahwa manusia adalah MAHLUK YANG PALING SEMPURNA diciptakan Allah. Kalimat itu sendiri jelas Allah mengajarkan tentang HUMANISME ISLAM, agar kita semua perlu saling peduli saling menghargai, saling menghormati perbedaan-perbedaan antar manusia. Dasarnya dari mana? Pendidikan moral, yang membangun budi pekerti yang luhur dan produktivitas. Sehingga mengalir berproses besama perencanaan Allah!!!
Jadi, saya heran kalau Pikiran Rakyat harus meminta maaf atas dimuatnya sebuah puisi, yang tak lebih hanya sebuah puisi biasa, yang sama sekali tak ada muatan menghujat ke-Islaman. Harusnya puisi itu membangunkan para ahli agama dari tidurnya yang lelap dengan text book thingkingnya. Sudah saatnya mereka harus menjadi lebih cerdas dalam memahami agama, bukan diBACA secara harfiah dan diajarkan sepenuhnya secara harfiah pula. Tetapi sampaikanlah esensi yang tersirat isi Alquran demi untuk menCERDASkan pengalaman batin rasa, dengan contoh perbuatan si ahli agama itu berdasarkan tambahan data-data pemahaman yang lebih universal dan lebih menukik untuk disampaikan pada para jemaahnya. Contoh kecil saja. Ketika kita mengawali sesuatu laku selalu dimulai dengan mengatakan: Bismillahhirohmannirohiim, dengan nama Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang, mestinya kalimat itu membangunkan diri kita sendiri,diri sipengucap kalimah itu, untuk menjadi seorang Pemurah dan Penyayang. Tetapi karena ajaran para ustadz Allah menjadi sesuatu di luar diri, maka ajaran dari kalimah yang sangat utama itu menjadi kering kerontang, tidak mencerdaskan batin rasa orang-orang yang mengucapkan kata Bismillah… itu. Kata Bismillah menjadi kehilangan daya hidupnya, dan hanya rangkaian kata-kata yang sama sekali tak menumbuhkan perasaan pemurah dan penyayang. Contohnya? Silakan baca isi berita dimedia tuliss maupun di media kaca… dan renungkan itu.
Komentar oleh Ani Sekarningsih September 27, 2007 @ 10:34 amAH SIA MAH DIJIEUN-JIEUN TEUING. SIDIK GEUS NGAHINA ISLAM. SAKALI DEUI, ARELING DULUR.TOBAT KA GUSTI, BISI DIAJAB
Komentar oleh BEBASBABLAS September 28, 2007 @ 3:39 pmNgahinana palebah mana, Kang Bebasbablas?
Asa teu katenjo ku sim kuring mah.
Atawa memang teu ngahina kitu, nya? Keun wae atuh, Kang.
Oh, hampir weh poho, kieu kang, ulah sua sia atuh, sia teh. 🙂
Ongkoh ngajakan areling, tapi bari ambek-ambekan, sia teh..Hehehe. Beuki katingali Islamna si akang Bebasbablas jeung Dongdot Bandung teh deet..deet pisan. Jadi, matak gampil bendu. Pondok akal deuih. Beu.
Ayeuna mah kieu weh atuh, Kang Bebasbablas, Kang Dongdot Bandung, ngaos deui, yuk, ah. Ngarah teu Taqlid jeung bisa ngabedahkeun teks “bil hikmah wal hasanah”. 🙂
kahatur,
Komentar oleh merekedeweng Oktober 11, 2007 @ 4:35 pmsi merekedeweng anu resep puisi malaikat saeful badar.
yey, di mana aya dongdot jalu? da kuring mah bikang. dasar merekedeweng
Komentar oleh dongdot bandung November 20, 2007 @ 2:36 pmjadi ingat cerpen nenden Pak camat ngaranna Andareweng. pek pikiran. Eh, nyambung teu? bae lah hidup Gendeng!
Komentar oleh Sarip Hidayat Januari 31, 2008 @ 12:35 pmyang kagak tahu gimana psikologis doi dalam keseharian, mungkin akan terkejut dengan sajak tersebut. apalagi buat yang blagu ‘sok’ dapat menafsirkan puisi doi dengan serampangan…..
Komentar oleh irvan mulyadie Oktober 3, 2008 @ 6:22 pmsaepul badar sohib gua….doi guru yang baik.